Redaksi NoiseblastMedia, eh ... ini ada tulisan yang pas banget
lagi terngiang-ngiang di pikiran kami yang diawali dari mendengarkan
beberapa karya lagu teman-teman yang lantang menyuarakan tentang sebuah
pemberontakan yang pada akhirnya menjadi sesuatu yang populer dan
lumrah, bahkan menjual (kalau sudah menjual pasti dijual harga tinggipun
dikejarlah ... hehe). Yang jadi pertanyaan, kenapa temen-teman
menciptakan karya yang seakan-akan melecehkan sebuah pemberontakan atau
perlawanan? Apakah mereka ini sudah terhasut oleh sesuatu yang membuat
mereka berpaling dari semangat mereka untuk memberontak? atau apakah
karena mereka telah mapan dengan posisinya sehingga mereka tak butuh
lagi yang namanya pemberontakan, perlawanan atau bahasa kerennya budaya
perlawanan??
Pertanyaan-pertanyaan diatas ternyata pada akhirnya kami jawab sendiri
dengan "Tidak! mereka masih dalam posnya masing-masing ..." ya, mereka
masih memiliki esensi dan keyakinan dari sebuah bentuk pemberontakan
sesungguhnya, mereka masih menyayangi dan peduli dengan kita. Ini
hanyalah sebuah refleksi ketika banyak diantara kita yang masih terus
mengumandangkan budaya perlawanan dan makin massive, dan tidak
disadarimaka makin banyak pulalah individu-individu baru yang muncul
sebagai sosok-sosok baru yang berjubah budaya perlawanan tersebut.
Bahkan diantara mereka ada juga yang memanfaatkannya sebagai komoditas
yang hanya menguntungkan pihaknya saja. Ya, Budaya Perlawanan itu
sekarang sudah mati, dan semua dikembalikan kepada individu-individu
masing-masing. Karena pada sejatinya sebuah perubahan sosial itu harus
diawali dari individu. "Revolusi Sosial itu dimulai dari Revolusi Diri
Sendiri".
Sama dengan artikel dibawah ini, ketika ada satu wacana (datang dari
luar pastinya) berbicara masalah Anti-Mainstream, kemudian di iyakan
oleh banyak penggiat scene, maka pada akhirnya wacana Anti-Mainstream
itu menjadi wacana yang populis di scene, dan bahkan sebagian hanya
sekedar mengkonsumsi dan menjualnya lagi tanpa ada pemahaman tentang
wacana Anti-Mainstream ini. Dan apa yang kita simpulkan dengan situasi
seperti ini? dengan berat hati kami menyatakan bahwa BUDAYA ANTI
MAINSTREAM SEKARANG SUDAH MENJADI MAINSTREAM.
Ya ... sadar tidak sadar semua sudah terjadi, dan mungkin karya tulis dari Ugahari ini akan enjelaskannya dengan simple dan santai ... silahkan menikmati sob ... S.A.M.H !!! (Salam Anti Mainstream Hehehehe)
Ya ... sadar tidak sadar semua sudah terjadi, dan mungkin karya tulis dari Ugahari ini akan enjelaskannya dengan simple dan santai ... silahkan menikmati sob ... S.A.M.H !!! (Salam Anti Mainstream Hehehehe)
(ANTI) MAINSTREAM
oleh: Ugahari
Terdapat dua arus mengalir berlawanan. Yang satu dinamakan mainstream,
yang lain dinamakan anti-mainstream. Arus pertama adalah arus utama
dimana mayoritas manusia terjun dan larut dalam alirannya. Arus kedua
merupakan arus yang menentang arus utama dimana manusia yang mengalir
bersamanya tak sebanyak pada arus utama. Keduanya mengalir dalam sungai
yang sama.
Sungai itu bernama kehidupan. Manusia selalu harus memilih mana yang
akan diikutinya. Umumnya setiap orang akan ditunjukkan dan diajarkan
untuk pergi berenang di arus utama, tapi tak jarang mereka berontak dan
berenang melawan arah, menentang mainstream, menjadi anti-mainstream.
Hasrat menjadi berbeda adalah salah satu alasan. Repotnya adalah ketika
anti-mainstream kadang berubah jadi mainstream pada suatu waktu. Dua
arus itu jadi tak ada bedanya.
Karena saking asiknya berenang dalam arus non-mainstream, orang tak
sadar bahwa ia sedang larut dalam arus mainstream. Mungkin karena
semakin banyak orang yang terjun ke anti-mainstream sehingga arus
tersebut jadi yang utama. Mungkin karena setiap orang ingin jadi beda.
Pelan-pelan semuanya malah meninggalkan mainstream. Menuju
anti-mainstream dan alpa bahwa semua juga begitu. Mereka tetap menjadi
mainstream.
Ketika semua orang menjadi pemberontak, yang tidak memberontaklah yang
justru sedang memberontak. Arus pemberontak yang begitu deras justru
menenggelamkan mereka sehingga mereka tak bisa berbuat apapun, tak bisa
memberontak, hanya terseret arus. Alih-alih berbeda mereka justru jadi
seragam. Awalnya ingin berdandan nyentrik tapi lupa diri bahwa yang lain
juga sama. Tak ada bedanya.
Tapi yang lebih membingungkan adalah anti-mainstream adalah mainstream.
Tidak, saya tidak bicara tentang fixie yang justru jadi mainstream. Atau
bukan tentang punk yang mungkin suatu hari akan jadi gaya hidup mayor.
Maksud saya adalah mayoritas orang memilih menjadi anti-mainstream.
Mainstream saat ini adalah anti-mainstream. Jadi bukan perilaku
anti-mainstream yang jadi mainstream, tapi anti-mainstream itu sendiri
yang telah menjadi mainstream.
Manusia lalu hidup dalam kebingungan. Persis seperti tulisan ini yang
tak jelas bicara soal apa. Orang lalu terjun ke dalam sungai hidup,
larut dalam ketidakjelasan arusnya, terseret kesana kemari, dan tak
pernah tahu sedang ada dimana. Siapa pula yang peduli itu lagi setelah
arus-arus kini tak ada bedanya. Mereka saling berhajaran tapi tak punya
nama yang membedakan. Saya duduk di tepi sungai, mengamati sekilas. Tak
lama berdiri, melompat ke dalam sungai.